DPR Persilakan Publik Gugat Revisi UU KPK yang akan Disahkan Hari Ini

DPR Persilakan Publik Gugat Revisi UU KPK yang akan Disahkan Hari IniFahri Hamzah. ©2017 dok foto dok ri
 Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mempersilakan jika masyarakat ingin menggugat Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK). Hal ini terkait dengan rencana pengesahan RUU KPK dalam rapat paripurna, Selasa (17/9).
"DPR sudah menghadiri gugatan itu sudah ratusan kali, saya saja sudah hadir berkali-kali, tidak ada masalah. Mekanisme dalam negara demokrasi, rakyat yang punya apa legal standing dapat melakukan gugatan terhadap undang-undang tidak ada masalah," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9).
Fahri juga tidak mempermasalahkan jika ada pihak yang kerap melakukan aksi untuk menolak RUU KPK. Menurutnya, aksi tersebut bagian dari kebebasan berpendapat.
"Tetap jalan, enggak masalah orang demo kan pernyataan pendapat, saya dan semua harus didengar, semua harus diterima, nanti mekanismenya ada. Kalau sudah berjalan kegiatan-kegiatan selanjutnya. Negara ini punya mekanisme untuk check and balances, semuanya ada," ungkapnya.
Diketahui, RUU KPK akan dibahas dalam sidang paripurna DPR pada Selasa (17/9). Setelah dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama pemerintah menyepakati akan meneruskan pembahasan ke tingkat dua.
"Revisi UU tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat kita setujui untuk diproses lebih lanjut sesuai ketentuan DPR RI," ujar Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas dalam rapat Baleg di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (16/9).
Dalam rapat Baleg ini, dihadiri Ketua Baleg Supratman, Wakil Ketua Baleg Totok Daryanto, serta perwakilan 10 fraksi di DPR. Sementara, pihak pemerintah diwakilkan Menkum HAM Yasonna Laoly dan Menpan-RB Syafruddin.
Anggota Baleg dari Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu mengatakan, keputusan rapat Baleg akan diserahkan kepada pimpinan DPR untuk dibawa dalam rapat Badan Musyawarah. Setelah masuk Bamus, DPR bakal langsung memutuskan revisi UU KPK di sidang paripurna, Selasa (17/9).
"Akan dibawa ke Bamus baru disepakati di paripurna," ujar Masinton. [ray]
Share:

KPK Surati DPR Minta Pengesahan Revisi UU Ditunda



KPK Surati DPR Minta Pengesahan Revisi UU DitundaJuru Bicara KPK Febri Diansyah. ©2017 merdeka.com/dwi narwoko
 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melayangkan surat kepada DPR terkait revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam surat yang dilayangkan Senin (16/9) KPK meminta DPR menunda pengesahan revisi UU tersebut.
Selain itu, KPK juga meminta draf revisi UU dan daftar inventarisasi masalah (DIM) untuk dipelajari lebih lanjut.
"KPK telah mengantarkan surat ke DPR siang ini yang pada pokoknya meminta DPR agar menunda pengesahan RUU KPK tersebut. Kami juga meminta draf RUU dan DIM secara resmi agar dapat dipelajari lebih lanjut," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi.
KPK meminta DPR tidak terburu-buru dan terkesan memaksakan pengesahan revisi UU ini. Dalam proses pembentukan UU, pemerintah dan DPR perlu mendengarkan banyak pihak, termasuk akademisi, masyarakat dan KPK sendiri yang akan terkena dampak revisi UU tersebut.
"Tentu saja dalam proses pembentukan UU perlu mendengar banyak pihak, seperti akademisi di kampus, suara masyarakat dan pihak-pihak yang terdampak dari perubahan aturan tersebut. Agar pembahasan tidak dilakukan terburu-buru dan terkesan dipaksakan," kata dia.
Reporter: Fachrur Rozie
Sumber: Liputan6.com [eko]
Share:

Soal Revisi UU KPK, Sekjen PDIP: Kami Dukung Jokowi Sepenuhnya

 Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyatakan, partainya mendukung penuh keputusan Presiden Joko Widodo atau Jokowi terkait revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dia menjelaskan, revisi yang telah disetujui Jokowi itu akan memberikan dasar hukum yang jelas kepada KPK.

"PDI Perjuangan berpendapat bahwa Pak Jokowi telah bertindak tepat. Pak Jokowi melakukan dialog dengan KPK itu secara intens, tetapi pada saat bersamaan Beliau juga mengharapkan adanya kepastian hukum agar kekuasaan yang tanpa batas ini menggunakan mekanisme check and balance," ungkap Hasto di De Saung, Bogor, Minggu (15/9/2019).

Dia menilai, selama ini KPK terkesan tergesa-gesa dalam menetapkan tersangka kasus korupsi. Sehingga, revisi ini dinilainya dapat menjadikan pemeriksaan kasus korupsi ke depan lebih progresif dan disertai komitmen tinggi dari seluruh aparat penegak hukum.

"Tidak ada lagi penyadapan dilakukan tidak sesuai dengan prosedur, bahkan bisa juga penyadapan itu dipakai karena kepentingan-kepentingan politik tertentu," tutur Hasto.

Dia menegaskan, Jokowi pastinya juga sudah mendengar masukan dari banyak pihak terkait hal itu.

"Ketika Pak Jokowi telah mengambil keputusan itu artinya pertimbangannya sangat matang dan itu semua didedikasikan bagi upaya suci untuk memberantas korupsi itu dengan benar," dia mengakhiri.

Serahkan KPK ke Presiden

Sebelumnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyatakan sikap keprihatihan atas kondisi lembaga yang dipimpinnya saat ini. Dia pun angkat tangan dan menyerahkan urusan korupsi ke Jokowi.

"Kami mempertimbangkan sebaik-baiknya, maka kami pimpinan sebagai penanggungjawab tertinggi, kami menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Bapak Presiden," tutur Agus di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (13/9/2019).

Agus menyatakan sikap didampingi oleh pimpinan KPK lainnya yakni Laode M Syarif dan Saut Situmorang. Hadir juga Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

"Kami menunggu perintah, apakah kami masih dipercaya sampai bulan Desember, apa masih berjalan seperti biasa," imbuh dia.

Soal Irjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK yang baru, lanjut Agus, pihaknya tidak akan melawan ketetapan tersebut.

"Mohon maaf kalau kami menyampaikan hal-hal yang kurang berkenan bagi banyak pihak," Agus menandaskan

Share:

DPR Resmi Sahkan Perubahan UU MD3, Kursi Pimpinan MPR Jadi 10

DPR Resmi Sahkan Perubahan UU MD3, Kursi Pimpinan MPR Jadi 10Gedung DPR. ©2015 merdeka.com/muhammad luthfi rahman
 DPR resmi mengesahkan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3). Dengan demikian jumlah kursi pimpinan MPR resmi bertambah menjadi 10 orang atau sesuai jumlah fraksi.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Totok Daryanto menyampaikan laporan bahwa pada semua fraksi akhirnya sepakat menyetujui revisi tersebut.
"Pada akhirnya 10 fraksi menyetujui perubahan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD untuk selanjutnya dibawa dalam pembicaraan tingkat dua, rapat paripurna hari ini dan ditetapkan sebagai Undang-Undang," katanya.
Ketua sidang Fahri Hamzah lantas menanyakan pada peserta sidang persetujuan terkait revisi tersebut. "Apakah RUU perubahan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang?" tanya Fahri.
"Setuju," jawab peserta sidang.
Palu sidang diketuk, secara resmi UU MD3 telah disahkan DPR. Selanjutnya, Mendagri mewakili presiden menyampaikan pandangan terhadap revisi UU MD3.
"Menyampaikan apresiasi dan terima kasih pada pimpinan, anggota DPR, pansus dan Baleg yang bersama pemerintah sehingga dapat dicapai kesepakatan bersama atas perubahan ketiga," kata Tjahjo Kumolo.
Tjahjo menyebut, revisi UU MD3 bertujuan mewujudkan pemerintahan yang lebih demokratis. "Pemerintah menganggap tujuannya merupakan lebih demokratis, efektif dan akuntabel dan mewujudkan kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat sesuai sila keempat," tambahnya.
Reporter: Delvira Hutabarat
Sumber: Liputan6.com [eko]
Share:

Mahfud Md Dukung Pembentukan Dewan Pengawas KPK

 Mantan Ketua Mahkamah Konsitutusi (MK) Mahfud Md mendukung, keberadaan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut dia, KPK memang harus diawasi 
karena terkadang komisioner KPK ada yang tidak tahu tentang adanya operasi tangkap tangan (OTT). 

"Nah sekarang mungkin itu benar, itu bagus, mungkin itu efektif tetapi mungkin agar lebih bagus dan lebih bertanggung jawab kalau ada dewan pengawas," kata Mahfud seperti dilansir dari Antara, Minggu (15/9/2019).

Menurut dia, untuk menentukan siapa pengawas KPK perlu didiskusikan dengan matang dan tidak berburu-buru. Untuk menentukannya, perlu memanfaatkan waktu pembahasan RUU yang tersedia, yakni 60 hari dengan mendengarkan pendapat publik, serta studi ke berbagai kampus.

"Ini masalah pro-justitia, masak yang mengawasi bukan pro-justitia, tidak punya hak memeriksa perkara tiba-tiba melarang orang memproses perkara. Ini yang harus kita diskusikan," kata dia.

Selain itu, Mahfud juga sependapat dengan penerapan kewenangan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk KPK. Hal itu mengacu adanya tersangka yang tak kunjung diputuskan kepastian status hukumnya oleh KPK, bahkan orang tersebut meninggal dunia.

"Masa orang (jadi) tersangka terus tanpa jelas nasibnya, sampai mati jadi tersangka, enggak boleh dicabut karena terlanjur ditetapkan tersangka lalu buktinya enggak ada," kata dia.

Berikutnya, mengenai pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN), yakni pegawai negeri sipil (PNS) atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Mahfud menilai, hal itu tidak perlu buru-buru ditolak.

Menurut dia, pegawai-pegawai di Mahkamah Agung (MA) dan MK bukan hakim agung maupun hakim konstitusi, mereka seluruhnya berstatus ASN.

"Presiden kan mengatakan penyidik dan penyelidik itu tidak harus polisi dan tidak harus jaksa, kan bagus. Boleh orang independen tapi independen inipun harus ASN, artinya masuk ke proses kelembagaan. Kelembagaan masuk kan tidak apa-apa, tapi tetap independen," kata dia.

Share:

Yusril: Presiden Tidak Berwenang Mengelola KPK

 Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menilai, penyerahan mandat atau tanggung jawab pengelolaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh pimpinan lembaga antirasuah itu kepada Presiden justru bisa menjadi jebakan.

"Ya, itu bisa membuat Presiden terjebak," kata Yusril seperti dilansir dari Antara, Minggu (15/9/2019).

Menurut Yusril, penyerahan mandat atau tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Presiden tidak dikenal dalam undang-undang. Presiden justru bisa melanggar konstitusi jika menerima mandat dan mengelola lembaga superbody tersebut.

"Presiden tidak berwenang mengelola KPK. Presiden justru dapat dianggap melanggar konstitusi jika menjadi pengelola KPK," ucap Yusril.

Yusril menjelaskan, KPK bersifat operasional dalam menegakkan hukum di bidang tindak pidana korupsi. Sama halnya dengan polisi dan jaksa.

"Presiden tidak mungkin bertindak secara langsung dan operasional dalam menegakkan hukum," ujar Yusril.

Dia menambahkan, tata cara pengelolaan KPK telah diatur dengan rinci dalam UU KPK. Sementara tidak ada satu pasal pun dalam UUD 1945 yang mengatur tentang KPK.

"Komisioner KPK bukanlah mandataris Presiden," terang Yusril.

Yusril melanjutkan, UU KPK tidak mengenal penyerahan mandat kepada Presiden. Maka Komisioner KPK wajib meneruskan tugas dan tanggung jawabnya sampai akhir masa jabatannya.

Pasal 32 UU KPK menyatakan bahwa komisioner diberhentikan dari jabatannya karena masa jabatannya telah berakhir. Selain itu, masa jabatan komisioner berakhir jika mereka mengundurkan diri atau meninggal dunia sebelum masa jabatannya berakhir.

"Di luar itu tidak ada mekanisme lain bagi komisioner untuk mengakhiri jabatannya," tutup Yusril.

Serahkan Mandat ke Presiden

Sebelumnya, KPK Agus Rahardjo menyatakan, sikap keprihatihan atas kondisi lembaga yang dipimpinnya saat ini. Dia pun angkat tangan dan menyerahkan urusan korupsi ke Jokowi.

"Kami mempertimbangkan sebaik-baiknya, maka kami pimpinan sebagai penanggungjawab tertinggi, kami menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Bapak Presiden," tutur Agus di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat 13 September 2019.

Agus menyatakan sikap didampingi oleh pimpinan KPK lainnya yakni Laode M Syarif dan Saut Situmorang. Hadir juga Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

"Kami menunggu perintah, apakah kami masih dipercaya sampai bulan Desember, apa masih berjalan seperti biasa," imbuh dia.

Soal Irjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK yang baru, lanjut Agus, pihaknya tidak akan melawan ketetapan tersebut.

"Mohon maaf kalau kami menyampaikan hal-hal yang kurang berkenan bagi banyak pihak," kata Agus

Share:

DPR Akan Tetapkan Nama Anggota Pansus Pemindahan Ibu Kota di Rapat Paripurna

 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan menggelar rapat paripurna untuk menetapkan nama-nama anggota panitia khusus pemindahan ibu kota.

Saat ini pemerintah tengah berencana memindahkan Ibu Kota ke Kalimantan Timur. Namun, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani tak mau menyebut nama-nama panitia khusus pemindahan ibu kota tersebut.

Nanti saja pas rapat paripurna," ujar Arsul saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin (16/9/2019).
Sebelumnya, Jokowi menegaskan rencana pemindahan ibu kota di hadapan sejumlah pimpinan lembaga negara. Jokowi memastikan pemerintah serius untuk pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta.

"Mumpung ketemu dengan ketua dan pimpinan lembaga-lembaga negara, saya ingin menyinggung sedikit hal yang berkaitan dengan pemindahan ibu kota. Kami serius dalam hal ini," kata Jokowi.

Rencana pemindahan ibu kota di era Jokowi ini sudah dibahas secara internal sejak tiga tahun lalu. Sementara itu, Bappenas juga sudah mengkaji secara lebih detail dalam 1,5 tahun lalu.

Paripurna Juga Sahkan Pimpinan KPK

Selain menetapkan nama pansus pemindahan ibu kota, paripurna DPR juga akan mengesahkan lima pimpinan KPK yang sudah ditetapkan Komisi III DPR.
"Senin siang paripurna," kata Arsul Sani.

Agenda paripurna yang pertama adalah laporan Komisi III DPR terhadap hasil uji kepatutan dan kelayakan atau fit and proper test calon pimpinan KPK.

Agenda selanjutnya adalah pengesahan pimpinan KPK terpilih yakni Firli Bahuri, Nawawi Pomolango, Alexander Marwata, Nurul Ghufron, dan Lili Pintauli Siregar.

Kemudian, agenda paripurna selainjutnya membahas pengambilan Keputusan RUU tentang perkawinan serta Penetapan Nama-nama Anggota Pansus tentang Pemindahan Ibu Kota negara.

Share:

Recent Posts